Kepada Tiankong, Langit yang Jauh

 


Cerpen: Naning Pranoto 

 Sumber: Kompas, Edisi 12/15/2002 

 OHHHH... wangi! Tiba-tiba tercium wanginya aroma melati. Bisa kupastikan, lebih wangi dari aroma peri dalam dongeng yang pernah dituturkan oleh almar-humah mbah buyut-ku. Tetapi, cerita yang kutulis ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan dongeng mbah buyut-ku itu. Melainkan sesuatu yang kujumpai di dalam pesawat, yang menerbangkanku dari Singapura ke Jakarta.Ternyata, aroma melati itu tidak hanya menghentak daya penciumanku, tetapi juga penciuman orang-orang sekitarku. Khususnya mereka yang duduk di VIP-seats, bersumbernya embusan aroma wangi tersebut. "Wowww!" tiba-tiba kudengar bisik-bisik di sekitarku ketika muncul seorang perempuan muda mencari-cari seat. Ia bertubuh tinggi semampai, berkulit warna almond, bergaun panjang, ketat, warna merah darah. Rambutnya hitam legam, panjangnya sebahu diurai lepas. Tangan kirinya menjinjing kopor kecil dan tangan kanannya membawa barang yang dikantungi kain sutera keemasan. Matanya yang dibingkai alis tebal tampak berbinar-binar. Pikirku spontan, rupanya dialah si peri, sumber wangi aroma melati. Ia lalu kunamai Si Peri."Number ten-bi...! Yes, it's mine. Sorry!" kata Si Peri, suaranya lembut, Inggrisnya beraksen Amerika kental. Perilakunya santun.Ia menghampiriku yang duduk di seat nomor 10-A. Ternyata seat-nya nomor 10-B. Jadi, ia duduk di sampingku? Astaga! Jantungku berdetak cepat. Itu, bukan karena aroma wangi melati segar yang menebar dari tubuhnya, melainkan, karena action Si Peri. Ia menaikkan kopernya ke bagasi yang ada di atas seat, belahan gaun panjangnya membuka dan pahanya yang mulus tampak kemana-mana. Paha itu menjadi perhatian banyak orang. Tetapi ia tampak tenang-tenang saja. Dengan kalem ia menutup bagasi, lalu duduk di sampingku sambil menyapaku dengan renyah, "Hello, how are you?""Good! Thanks!" sahutku kikuk dalam mengimbangi suara renyahnya. Kata teman-temanku, aku memang jenis pria yang suka kikuk dalam menghadapi perempuan, apalagi perempuan asing-yang belum dikenalnya.Tetapi, kekikukan yang kali ini berbeda dengan kekikukan yang biasanya kurasakan. Biasanya, aku merasa kikuk menghadapi perempuan karena aku merasa tidak punya bahan menarik, yang bisa kusajikan sebagai bahan pembicaraan. Sedangkan kekikukanku kali ini, karena aku terheran-heran oleh penampilan Si Peri yang superwangi dan keberaniannya dalam berbusana. Apa sih profesinya?. Apakah ia seorang foto-model? Atau ia seorang semacam call-girl? Ahh, otakku jadi kotor menuduhnya yang tidak-tidak."Maaf. Boleh tahu? Anda mau ke Jakarta atau ke Bali?" tanyanya, beberapa menit setelah pesawat take-off menuju Jakarta. Sungguh, pertanyaannya mengejutkanku, karena aku sedang memikirkan profesinya."E... saya mau ke Jakarta. Anda? Anda mau kemana?" sahutku agak gugup, karena tidak menyangka sama sekali kalau ia mau menegurku."Saya mau ke Tian-Tiangkong untuk melaksanakan li, yaitu berbakti kepada keluarga!" sahutnya cepat."Anda mau ke Tian-Tiankong untuk berbakti kepada keluarga? Sungguh mulia niat Anda. Tetapi, di mana Tiankong itu?" tanggapku spontan, karena merasa asing terhadap tempat yang disebutnya."O, sorry, saya berbahasa Mandarin," ralatnya, "...ee.. maksud saya, Tian-Tiankong itu artinya Langit. Tapi, bisa juga dimaknakan Surga. Ya, saya mau ke Langit. Langit Yang Jauh...! Ke Surga!""Maksud Anda?" keningku spontan berkerut."Nah...nah... Anda bingung kan? Anda tidak tahu di mana letak Langit Yang Jauh?" ia tersenyum, "Itu, negeri yang kata waipo-ya, ya kata nenek saya, Tiankong itu sebuah negeri yang sangat indah, seindah Surga. Puluhan tahun ia merindukannya!" senyumnya tiba-tiba menghilang, tergantikan kerut-kerut bibir gemetar, menahan tangis. "...tapi, kerinduannya tidak pernah terwujud secara nyata." Ia mengusap butir-butir airmatanya yang meleleh di kedua pipinya.Aku bingung. Aku tidak memahami alur pembicaraannya. Maka, aku lalu memberanikan diri untuk minta penjelasan. "Hem...Miss...,""Nama saya Peony. Maksud saya Peony Wu...," ia memenggal kalimatku."Ya, Miss Peony, maafkan saya. Saya tidak memahami apa yang Anda bicarakan. Maukah Anda memperjelasnya?" pintaku, karena penasaran."Tentu saja Anda tidak memahaminya, karena alur pembicaraan saya rancu. Itu, karena saya tidak tahu, dari mana saya harus memulainya. Materinya terlalu panjang dan rumit. Ini menyangkut sejarah.""Menyangkut sejarah? Sejarah apa?" aku semakin tidak mengerti."Sejarah perjalanan hidup orang-orang Tionghoa di Indonesia paska Perang Kemerdekaan Indonesia sampai dengan detik-detik meletusnya G 30 S PKI. Nah, nenek saya termasuk di dalamnya...""E, nenek Anda, pernah tinggal di Indonesia?" tiba-tiba aku menemukan clue kemana arah pembicaraan Si Peri yang mengaku bernama Peony Wu."Yes! Anda cerdas. Saya suka," mata Peony yang semula redup, kembali berbinar. "Jadi, Anda paham apa yang saya maksud dengan Langit Yang Jauh?""Indonesia?" aku menebak dengan ragu-ragu."Yes, absolutely correct! Thanks!" ia bersorak, sambil mengguncang-guncang tanganku, "Anda cerdas!" pujinya berkali-kali. Pujiannya membuatku jadi merasa akrab dan dekat dengannya. Maka, kulanjutkan dialogku dengannya, "Jadi, Anda mau ke Indonesia? Ke kota mana?" tanyaku kemudian."Ke Batu-Malang. Di kota itu nenek saya lahir, dibesarkan dan menikah serta punya tiga anak. Setelah menikah, ia dagang palawija, di Surabaya. Waktu perang kemederkaan ia menyumbangkan dagangannya untuk dapur umum, memberi makan para pejuang. Itu, karena kecintaannya terhadap Indonesia. Ironisnya, tahun '62, ia dipulangkan oleh pemerintah Indonesia ke Tiongkok, karena nenek saya tidak mau ganti nama Indonesia. Nenek saya bilang, ia terkena PP-10. Anda tahu peraturan itu?" ia memandangiku."Maaf, saya tidak tahu!" aku berterus terang."Sama. Yang saya tahu, karena PP-10 itu nenek saya kembali ke Tiongkok. Karena ia lahir dan besar di Indonesia, maka ia merasa asing terhadap Tiongkok. Keterasingannya itu membuatnya gamang dalam menjalani hidup,di Tiongkok, apalagi ketika Mao Zedong memproklamirkan Revolusi Kebudayaan. Nenek saya sempat gila karena disiksa oleh student yang menjadi Red Guard Mao. Itu, gara-gara nenek saya penganut Kong Hu Chu yang taat. Untung, ia bersama sepupunya berhasil melarikan diri ke Macao. Tetapi kedua anaknya hilang. Yang hidup tinggal ibu saya yang kemudian menikah dengan orang Portugis...!""O, jadi Anda berdarah Portugis?" selaku, sambil mengamati wajahnya yang memang tidak mirip Tionghoa."Ya, saya ini blasteran Tionghoa-Portugis, lahir di Macao, besar di Amerika. Kemudian, saya sekarang punya usaha di Singapura, buka butik!""O, makanya Anda modis." Komentarku tentang dirinya. "Oiya, nenek Anda sekarang di mana?" tanyaku, karena aku ingin tahu keberadaan neneknya."Nenek saya sekarang di sini! Di pesawat ini!" ia memandangiku, "...karena dia sedang menuju ke Langit Yang Jauh. Suatu tempat yang ia rindu-kan...""Ah, Anda jangan bercanda," tanggapku serius."Saya tidak bercanda. Nenek saya sekarang memang sedang berada di pesawat bersama saya, bersama Anda dan bersama semua penumpang pesawat ini," lagi-lagi ia memandangiku. Kemudian, ia mengambil sesuatu dari kantung sutera warna keemasan yang tadi kulihat dibawanya, "Nenek saya ada di sini. Di dalam botol perak ini!" ia menunjukkan ujung botol yang ada di kantung sutera."Ohhh...," aku tidak bisa berkata apa-apa selain menarik nafas."Nenek saya meninggal dua bulan yang lalu, usianya 78 tahun. Ketika ia dipulangkan ke Tiongkok, usianya 38 tahun. Jadi, selama 40 tahun ia merindukan Indonesia yang disebutnya sebagai Langit Yang Jauh. Ia menyebut demikian karena untuk ke Indonesia baginya tidak mudah. Ia takut, kedatangannya ditolak pemerintah Indonesia. Maka, ia lalu berpesan, ketika meninggal minta dikremasi dan abunya ditaburkan di Gunung Sriti-Batu. Katanya, tempat itu sangat indah bak surga. Di Gunung Sriti ia punya kenangan manis, bertemu dengan seorang pemuda yang kemudian menjadi suaminya. Sayangnya, suaminya itu tidak mau menyertainya kembali ke Tiongkok. Ia memilih tinggal di Indonesia, mengganti namanya dengan nama Indonesia dan kemudian ia menikahi perempuan Boyolali. Kabarnya, ketika meletus G 30 S PKI, suami nenek saya itu dibunuh dengan cara yang keji oleh penduduk setempat, karena ia dituduh PKI!" mata Peony membasah lagi, "tapi, bagaimanapun nenek saya tetap menganggap Indonesia adalah Tiankong, sebuah Surga dan ia ingin menjadi salah satu penghuninya," sambung Peony tersenyum getir. Ia lalu mengajakku ke Batu- Malang, untuk melaksanakan li bagi neneknya.Jakarta, akhir Oktober 2002           

Kepada Tiankong, Langit yang Jauh 4.5 5 Om Dadi Cerpen: Naning Pranoto    Sumber: Kompas, Edisi 12/15/2002    OHHHH... wangi! Tiba-tiba tercium wanginya aroma melati. Bisa kupastika...


No comments:

Post a Comment

Silahkan kasih komentar anda di kolom komentar di bawah.
Dengan baik,sopan,ramah dan penuh tanggung jawab, agar bisa memberikan kenyamanan bagi pengunjung lain.terimakasih sudah mengunjungi blog ini :), Tapi maaf di larang berkomentar spam di antaranya:
1. Di larang berkomentar OOT (Out Of Topik) di luar topik/ postingan di atas
2. Di larang komentar iklan-jualan obat-obatan
3. Di larang meninggalkan Link aktif (Alamat Web/Blog)
Jika ingin OOT atau Ninggalin Link Aktif silahkan masuk di menu CONTACT di atas, bagi yang melanggar akan di hapus oleh admin :) . Berkomentarlah yang sesuai dengan postingan di atas Terimakasih