Lelaki Pembawa Senapan

 


Cerpen: S Prasetyo Utomo 

 Sumber: Kompas, Edisi 05/12/2002 

 DI rumah panggung yang terbuat dari kayu yang sudah mulai kusam, namun masih menampakkan kekokohannya, tinggal nenek, perempuan tua yang tetap menampakkan kesehatannya. Di ambang pintu yang terbentang, di lantai dua, dia duduk menghadapi fajar. Memandangi jalan di depan rumahnya, yang menuju sebuah sungai besar.Memandangi bocah-bocah yang berlarian ke tepi sungai, Nenek berteriak-teriak dari ambang pintu rumahnya, "Jangan berlarian ke sungai! Nanti dimakan buaya!"Anak-anak kecil itu berhenti saat mendengar seruan Nenek. Mereka urung berhamburan mencebur ke sungai. Urung berpercik-percikan air sambil berenangan, menyelam, bermain lumpur dan lumut sampai siang.Belum lagi mencebur ke dalam sungai, anak-anak itu termangu-mangu di tebing. Seseorang berseru, "Ada buaya! Ada buaya!"Ketakutan, berteriak-teriak, anak-anak yang masih termangu di tebing sungai itu mencari-cari. "Mana buayanya? Mana buayanya?"Anak-anak yang lebih dekat dengan Nenek, tertawa-tawa. "Kaulah buayanya!"Berlarian, mereka meninggalkan tanggul sungai. Menaiki tangga kayu di rumah Nenek. Berderak-derak. Di lantai dua, di ruang tamu, Nenek duduk di lantai papan. Anak-anak itu mengelilingi Nenek. Meminta perempuan yang masih segar itu untuk bercerita.Nenek, si tukang cerita itu, menuturkan kisah masa gadisnya.***LELAKI itu masih muda, tampan, gagah dan diam-diam dikagumi gadis-gadis. Dia selalu membawa senapan ke sungai. Berburu buaya. Lama dia menyusuri tanggul sungai, memandang ke arah permukaan air, menanti seekor buaya mengapung, dan melepaskan tembakan. Kadang ia berhari-hari tak melepaskan tembakan. Kadang dalam sehari ia berkali-kali menembak.Saat ia melepaskan tembakan, dan darah muncrat dari tubuh buaya yang menggelepar, orang-orang bersorak-sorai di tepi sungai. Melihat buaya yang terus berkecipak, menyemburkan darah searus dengan air sungai, gadis-gadis terpekik. Buaya itu tak segera mati. Terus menggelepar. Sungai menjadi amis bau darah buaya.Lelaki pembawa senapan itu tak segera menembak lagi. Dia tak menghendaki buaya itu segera mati. Orang-orang akan kehilangan tontonan. Kehilangan kekaguman. Kehilangan kengerian. Kehilangan keperkasaan seorang pembunuh.Dia cuma membidik, tak pernah menarik pelatuk senapannya hingga meledak, dengan sebutir peluru yang menghujam pada tubuh buaya. Dibiarkannya orang-orang berdebar menanti sebuah tembakan yang merenggut nyawa buaya, dalam penantian yang memualkan.Hingga muncul seorang lelaki berambut ombak memanjang sebahu tak terurus, dengan kaki pengkor, berjalan tertatih-tatih, mendekati lelaki pembawa senapan."Kenapa kamu bunuh buaya itu?" bentak lelaki pengkor.Lelaki pembawa senapan itu memandang tajam ke arah mata lelaki pengkor, dengan pandangan serupa dua tungku panas yang memberangus. Lelaki pengkor tak melawannya dengan kemarahan. Ia melawannya dengan mata serupa dua buah telaga. Dua tungku panas itu padam."Apa kamu ingin dimakan buaya itu?" hardik lelaki pembawa senapan."Aku cuma tak suka caramu membunuh buaya!""Cuah! Binatang laknat, mesti dibunuh dengan keji!"Lelaki berkaki pengkor itu berpaling. Wajahnya mengeras. Matanya meradang. Ditinggalkannya tepi sungai itu, sambil bergumam, "Kau pun bisa mampus dicabik-cabik buaya!""Apa katamu?" hardik lelaki pembawa senapan, berang. Ia tak begitu jelas mendengar. Tapi dia menangkap gumam lelaki pengkor itu sebagai umpatan. Hampir saja dia menembak kaki lelaki pengkor itu, kalau saja buaya tidak mengamuk dengan ekor dipukul-pukulkan pada permukaan air sungai.Tembakan yang dilepaskan lelaki pembawa senapan itu menyurutkan amukan buaya itu. Mati. Terapung dengan darah menggenangi arus air sungai.Orang-orang kampung mencebur ke sungai. Menyeret buaya ke darat. Mengulitinya. Begitu asyiknya mereka. Orang-orang terus berkerumun. Mereka melupakan lelaki pembawa senapan dan lelaki pengkor yang meninggalkan tepi sungai, diam-diam, dan luput dari perhatian.***DI rumah panggung, seorang gadis dengan rambut tergerai, memandangi tepian sungai lewat jendela yang terbuka. Ia ingin turun dari rumah panggung, membaur di antara orang yang berkerumun, dan ingin bertemu, dari jarak dekat, dengan lelaki pembawa senapan yang gagah dan tampan.Lelaki pengkor, yang berjalan dengan terseok-seok, melintas di bawah jendela kamar perempuan berambut panjang tergerai. Lelaki pengkor itu sengaja berhenti. Memancing perhatian perempuan berambut panjang tergerai. Lelaki pengkor itu ingin disapa. Tapi, perempuan berambut panjang tergerai membuang muka."Hai, gadis! Apa kamu tak ingin turun dari kamarmu?" tegur lelaki pengkor itu.Si gadis berambut panjang tak menyahut."Di kamar melulu, membosankan!"Tak ada sahutan."O, rupanya kau pura-pura bisu-tuli. Kelak, kau akan memperoleh anak bisu-tuli."Dan lelaki pengkor itu masih merajuk, mengajak berbincang-bincang. Gadis berambut panjang itu mengerling, mencibir."Nah, anakmu yang kedua, akan lahir dengan mata juling, dengan bibir yang jontor."Gadis berambut panjang merasa terhina. Dia murka. Tapi tak bisa meluapkan kemarahannya. Ditutupnya kembali jendela kamar, hingga terasa kegelapan menyekap. Ia merasakan kenyerian yang menyesakkan dada."He, gadis berambut panjang, kamu begitu sombong!" seru lelaki pengkor. "Kelak kamu akan hidup dalam kesunyian."***LELAKI pembawa senapan yang mendengar kecantikan gadis berambut panjang, sengaja melintas rumah panggung yang terbuat dari papan kayu. Di bawah jendela kamar gadis berambut panjang, dia berhenti. Tengadah. Mencari-cari wajah gadis itu. Dia melihat wajah yang muncul dari keremangan kamar, melongok ke bawah. Tercengang. Terpana. Mengembangkan senyumnya, malu-malu, setengah hati. Gadis itu tiba-tiba mencium bau harum tetumbuhan dan hangat Matahari yang menerobos jendela kamarnya-setelah bertahun-tahun ia dalam pingitan.Tangga rumah panggung itu berderak-derak. Suara langkah kaki yang mantap lelaki pembawa senapan itu mengguncang dada perempuan berambut panjang. Terdengar ketukan pintu. Berkali-kali. Suara Ayah menyambut lelaki pembawa senapan. Ibu muncul belakangan. Mereka berbincang-bincang di atas hamparan tikar di lantai papan. Lama-kelamaan lelaki pembawa senapan itu yang banyak bicara. Sopan. Hati-hati. Kadang membujuk.Gadis berambut panjang tergerai mencuri dengar semua perbincangan. Berdebar-debar. Tak yakin hatinya, saat ia dengar, lelaki pembawa senapan itu melamarnya.***ANAK-ANAK kecil yang berdesak di lantai rumah panggung, terpikat pada cerita Nenek. Mereka tak puas saat Nenek menghentikan ceritanya."Gadis berambut panjang itu jadi menikah, Nek?" tanya seorang anak gadis berponi."Tentu. Mereka hidup bahagia.""Lintas punya anak bisu dan jontor bibirnya?" desak lelaki kecil berambut kemerahan."O, tidak," sahut Nenek, agak lamban. "Kutukan lelaki pengkor itu tak terjadi. Gadis berambut panjang itu memiliki dua anak, lelaki dan perempuan, yang gagah dan lucu.""Mereka di mana, Nek?""Merantau.""Lalu, lelaki pengkor itu ke mana?""Menghilang dan tak pernah kembali lagi ke desa.""Laki-laki pembawa senapan itu masih hidup?"Terhenyak, berkedip-kedip, Nenek memandangi anak-anak kecil yang menantikan ceritanya. Wajah Nenek tampak sedih."Laki-laki itu mati di sungai ketika mandi. Dia menyangka, semua buaya sudah ditembak mati, hingga dia berani mandi di kali. Tak disangkanya, masih ada seekor buaya yang tiba-tiba muncul, mencabik-cabik tubuhnya."Anak-anak terpana, memandangi Nenek, dan merasakan kekecewaan. "Gadis berambut panjang itu masih hidup, Nek?""Masih.""Di mana ia tinggal?""Di sini. Neneklah orangnya.""Ooo."Anak-anak itu bersorak. Berjingkat bangkit. Bergerak menuruni anak tangga. Bertabrakan. Berjejalan. Saling dorong. Mereka menghambur ke jalan, berlarian ke sungai. Mencebur ke dalamnya. Berenang. Berkecipak. Bermain-main air. Tertawa-tawa.Mendadak anak-anak berhenti bermain, berhenti bergurau. Melintas di tanggul sungai itu seorang kakek, tertatih-tatih. Rambutnya panjang, memutih, tak terurus. Matanya kelabu. Kakinya pengkor. Anak-anak bersorak ketakutan, meninggalkan sungai, menyambar pakaian mereka, berlari telanjang menyusuri jalan tanah berbatu, melewati rumah-rumah panggung.Negara-Pandana Merdeka, Februari 02 

Lelaki Pembawa Senapan 4.5 5 Om Dadi Cerpen: S Prasetyo Utomo    Sumber: Kompas, Edisi 05/12/2002    DI rumah panggung yang terbuat dari kayu yang sudah mulai kusam, namu...


No comments:

Post a Comment

Silahkan kasih komentar anda di kolom komentar di bawah.
Dengan baik,sopan,ramah dan penuh tanggung jawab, agar bisa memberikan kenyamanan bagi pengunjung lain.terimakasih sudah mengunjungi blog ini :), Tapi maaf di larang berkomentar spam di antaranya:
1. Di larang berkomentar OOT (Out Of Topik) di luar topik/ postingan di atas
2. Di larang komentar iklan-jualan obat-obatan
3. Di larang meninggalkan Link aktif (Alamat Web/Blog)
Jika ingin OOT atau Ninggalin Link Aktif silahkan masuk di menu CONTACT di atas, bagi yang melanggar akan di hapus oleh admin :) . Berkomentarlah yang sesuai dengan postingan di atas Terimakasih