Cerpen: Putu Fajar Arcana
Sumber: Kompas, Edisi 08/18/2002
SEPULANG dari Jepang, hati Pusparani berbunga-bunga: sebuah pusat hiburan di Kota Tokyo ingin mengontrak para penari. Bukan sebuah kebetulan ia bertemu dengan Yamasita-san. Selama ini hampir seluruh misi kesenian Bali atas nama pemerintah ditangani oleh Yamasita-san dan Pusparani selalu kebagian peran. Pusparani tak pernah menghitung entah sudah berapa kali ia mengunjungi Negeri Sakura. Ia hanya ingat beberapa jam lalu masih menari di sebuah gedung pertunjukan milik satu universitas di tengah-tengah Kota Tokyo. Ia puas karena sambutan penonton di kota megapolitan seperti Tokyo sangat berbeda dengan penonton Denpasar atau Jakarta sekalipun. Seorang ibu bernama Mariko datang ke belakang panggung bersama anaknya, membungkuk sebagai tanda hormat, sembari tersedu menangis. "Saya hanya ingat suami saya di Bali," katanya dalam bahasa Indonesia terpatah-patah. Sambil sesegukan Mariko meminta agar Pusparani memeluk anaknya. Puspa gelagapan, tak mengerti. Matanya yang indah mengerjap-ngerjap. Ia sama sekali tak paham: mengapa Mariko mendatangi dirinya. Usai menari keringat masih membasahi sekujur tubuhnya. Bahkan pakaian tari legongnya belum lagi dicopot."Sampai umurnya empat tahun, ia belum melihat ayahnya," cerita Mariko lagi,"Dia ingin merasakan pelukan orang Bali." Selama bercerita, air mata Mariko tak henti berderai. Bulir-bulir bening itu, ia biarkan melintas perlahan dari pipinya yang putih sampai menyentuh bibir. Terasa asin. Ah, asin sekali. Perempuan bertubuh sedang itu tersedak. Ia ingin menelan tangisnya. Tetapi kerinduannya untuk bertemu Ngurah Anom, suaminya, seperti meledak-ledak. Sungguh perih rasanya hidup berjauhan, begini, keluhnya dalam hati.Sejak beberapa tahun lalu, katanya, ia terpaksa hidup berpisah dengan Ngurah Anom. Mariko memilih kembali ke Jepang untuk melanjutkan kuliah, sementara Ngurah Anom, tetap tinggal di Ubud sebagai pelukis. "Kami tak punya pilihan," keluhnya lagi.Tanpa menunggu cerita Mariko menjadi lebih memilukan lagi, Puspa erat-erat memeluk anaknya. Ia ingat, tentu saja Cempaka, anaknya yang kurang lebih seusia dengan anak Mariko, sudah sangat merindukannya. Gadis kecilnya itu, selalu berlari untuk kemudian memeluk Puspa setiap pulang dari menemui para mahasiswanya di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Denpasar.Ia membayangkan beberapa jam lagi pasti Cempaka berlari-lari di ruang tunggu Bandara Ngurah Rai. Ia ingin melepaskan rindu dengan memeluk anaknya erat-erat. Seerat yang dapat ia lakukan.Noriko, anak Mariko sempat kaget. Mungkin tertusuk beberapa ornamen dari logam yang melekat pada pakaian tari Puspa. Pelukan Puspa justru membuat Mariko makin tersedu. Ia pun melingkarkan kedua tangannya di antara pinggang Puspa dan kepala anaknya. Ia ingat itulah pelukan terakhir di Bandara Ngurah Rai, yang membuatnya tak bisa melupakan Ngurah Anom. Lebih dari empat tahun yang lampau. Sampai kini ia masih menyediakan ruang dalam hatinya bagi lelaki berambut panjang itu.Mereka bertiga berpelukan. Lama sekali. Puspa membayangkan pelukan itu untuk Cempaka. Selama lebih dari dua minggu berada di Jepang, membuat rindunya pada Cempaka seperti membuncah. Beberapa penari lainnya turut terhanyut. Bahkan ada yang kemudian turut serta memeluk Mariko dan anaknya. "Saya hanya titip salam buat Bali. Belum bisa pergi ke sana, saya masih harus menyelesaikan studi S2," ujar Mariko sesaat sebelum meninggalkan Puspa. Mereka berpelukan sekali lagi. Sambil menghapus air matanya, Mariko bergegas keluar gedung pertunjukan sambil mendekap Noriko. Ibu dan anak itu kemudian menghilang di tikungan dekat stasiun trem bawah tanah.***PERISTIWA di belakang panggung gedung pertunjukan itu tak pernah lekang dari ingatan Puspa. Diam-diam air matanya menitik. Ia seperti merasakan betapa haru-birunya hati Mariko: harus menjalani hidup bersama seorang anak yang selama bertahun-tahun tak mengenal ayahnya. Ah, pedihnya...Selama ini, menurut cerita Mariko, Noriko hanya kenal suara Ngurah Anom lewat telepon. Itu pun kalau Mariko yang menelepon ke Ubud dan kebetulan Ngurah Anom ada di studionya. Ngurah Anom sangat jarang mau menelepon. Puspa merasa menjadi begitu dekat dengan Tokyo. Itu sebabnya ketika Yamasita-san menawarinya untuk kembali ke Tokyo menari, ia tak kuasa menolak. Dalam perjalanan pulang pikirannya sibuk mereka-reka beberapa mahasiswanya yang barangkali bisa diajak serta. Mereka pasti dengan senang hati menerima tawaran menari di Tokyo. Menari di luar negeri selama ini seperti menjadi impian para penari di STSI."Kontrak itu barangkali sudah akan mulai akhir bulan April ini. Jadi mereka minta empat orang penari perempuan lainnya. Anda siap?" tanya Yamasita-san, seminggu kemudian saat menelepon Puspa dari Tokyo."Akan berapa lama kontrak itu?" Puspa balik bertanya."Kemungkinan untuk waktu tiga bulan. Anda siap?" Lagi-lagi Yamasita-san mengulangi pertanyaan yang sama. "Sudah saya pastikan untuk berangkat, asal mendapatkan izin dari pimpinan di STSI.""Soal itu biar saya yang mengurusnya," kata Yamasita-san. Ia memang salah satu orang asing yang memiliki hubungan dekat secara pribadi dengan para pimpinan STSI. Selain menjadi penghubung para seniman, Yamasita-san di Bali juga dikenal sebagai seniman. Ia beberapa kali membuat garapan tari bersama para seniman Bali. Terakhir bahkan ia berhasil membuat sebuah kelompok penabuh gamelan dan penari Bali di Jepang. ***DALAM delapan jam penerbangan Ngurah Rai - Narita, pikiran Puspa dipenuhi kenangan hangatnya sambutan penonton Tokyo. Diam-diam ia berharap kehangatan itu bakal dirasakan pula oleh Dayu Satyawati, Ratnasari, Komang Widiati, dan Gung Dewi, empat mahasiswanya. Mereka penari-penari muda dan rupawan yang baru pertama kali melawat ke luar negeri. "Selama tiga bulan kalian semua akan merasakan betapa hangat dan bersahabatnya orang Jepang. Mereka seperti memiliki hubungan emosi dengan kita, dekat sekali rasanya. Usai menari, kita biasanya diajak jalan-jalan ke Akihabara, sebuah kawasan elektronik yang begitu mengagumkan. Dekat saja dari hotel tempat kita akan menginap," kata Puspa sebelum berangkat kepada para mahasiswanya."Kita akan ke Shinjuku juga kan Bu? Hihiii..." tanya Ratnasari sembari menutup bibirnya."Huuss...siapa yang memberitahumu?" kata Puspa. Tiga penari lainnya cekikikan. Puspa tahu Shinjuku yang dimaksud Ratnasari adalah kawasan yang termasuk remang-remang lampu merah di sudut Tokyo."Udah.. ah. Kita saat ini jangan memikirkan soal uang kontrak. Terpenting dari misi ini, kita memperkenalkan kebudayaan Bali yang adiluhung dan dikagumi banyak bangsa," tambah Puspa. Keempat gadis muda itu hanya mengangguk. Mereka mempercayakan semuanya kepada Puspa. Selain sudah sering ke Jepang, reputasi Puspa sebagai dosen juga tak bisa diragukan. Umumnya mereka tahu Puspa begitu dekat dan seringkali diberi kepercayaan menangani misi kesenian ke luar negeri oleh pimpinan kampusnya. "Kita bergantung semuanya kepada Ibu saja," kata Ratnasari singkat."Sudah ada Yamasita-san yang akan mengurus kita selama berada di Jepang," jawab Puspa, seolah lebih kepada diri sendiri. Sudah hampir satu jam rombongan penari menunggu jemputan dari Yamasita-san. Wajah Puspa mulai tampak tegang dan merah padam. Ia agak kesal dan malu kepada para mahasiswanya. Puspa merasa sangat teledor. Ia ingin memaki dirinya sendiri: mengapa tidak punya pikiran untuk bertanya kepada Yamasita-san, siapa yang bakal menjemput rombongan. Mungkin ia terlalu yakin, karena selama ini setiap misi kesenian Bali ke Jepang segala urusan pasti dibereskan oleh Yamasita-san. Lelaki berkaca mata itu bahkan selalu turut menjemput rombongan di Narita.Bandara Narita tampak sibuk. Rombongan-rombongan pelancong tua tampak riuh sekali saat menunggu kopor mereka. Puspa menduga para turis itu berasal dari Taiwan. Ia sering bertemu dengan turis Taiwan di Ngurah Rai. Mereka memang cenderung ribut kalau sedang bersama-sama. Seorang petugas keamanan tampak mendekat. Ia berkata sesuatu dalam bahasa Jepang. Puspa tidak mengerti. Namun ia menduga lelaki berseragam biru itu sedang bertanya: Anda sedang menunggu siapa? Spontan saja Puspa menulis nama Yamasita-san di atas kertas. Lelaki itu tampak beberapa kali membungkuk-bungkuk dan mempersilakan para penari duduk kembali.Setelah menghilang beberapa saat, petugas keamanan tadi kembali diikuti seorang lelaki lainnya. "Nama saya Miki, saya datang menjemput Anda," kata Miki sembari menyodorkan secarik kertas bertuliskan nama Pusparani."Oh...Miki-san. Apa Anda diminta oleh Yamasita-san untuk menjemput saya?" tanya Puspa."Ah tidak-tidak. Saya datang atas permintaan Kimura-san, yang akan mengontrak para penari dari Bali. Saya akan mengantar Puspa-san, ke tempat kami."Meski banyak pertanyaan di dalam kepalanya, tapi Puspa bergegas meminta para penari mengambil kopor. Mereka berangkat ke Tokyo dengan menggunakan kereta Narita Express, tak lebih dari satu jam. Seingat Puspa ongkos kereta dari Narita ke Stasiun Tokyo dulu sekitar 2.890 yen. Gedung-gedung ramping seperti melaju sepanjang jalan. Sementara sebuah layar di atas pintu gerbong setiap saat memberi informasi tentang cuaca Kota Tokyo. Puspa tampak sangat gelisah. Keempat penari lainnya juga mencoba meredam kegundahannya. Mereka terdiam, tetapi setiap saat mata-mata penari itu beradu seperti saling bertanya. Ratnasari mencoba menenteramkan hati dengan memandangi pertokoan sepanjang jalan dari jendela kereta. Di sela-sela gedung tampak bunga sakura mulai mekar. Pada bulan April, daratan Jepang sedang memasuki musim semi. Meski lanskap pagi seelok itu, Gung Dewi, Widiati, dan Satyawati tetap terpejam-pejam. Ketiganya tampak mulai lelah setelah melintasi waktu delapan jam. Pagi itu mereka belum sempat mencuci muka atau sekadar beli roti untuk sarapan. Untung Ratnasari masih menyimpan sisa biskuit yang dibelinya saat transit di Jakarta. Secepat kilat ia membagikan biskuit kepada para penari lainnya. Puspa menolak. Ia memang tidak sedang berselera. ***SAAT turun dari bus, Puspa dan para penari oleh Miki-san langsung diarahkan menuju halaman belakang sebuah kompleks yang rupa-rupanya mirip tempat hiburan. Saat melewati lorong yang terdapat di sisi bangunan besar, Puspa dipersilakan duduk untuk menunggu Kimura-san.Pikiran Puspa mulai tak keruan. Sejak turun dari kereta dan kemudian naik bus, ia ingin mengajukan berbagai pertanyaan kepada Miki-san. Tetapi pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya ia urungkan. Puspa ingin mendapat gambaran lebih utuh ke mana sesungguhnya bus sedang melaju, apa benar Yamasita-san yang menjadi penghubungnya. "Tetapi mengapa ia tak muncul. Lalu mengapa pula kita dibawa ke tempat seperti ini. Bukankah Yamasita-san bilang kita akan menari di sebuah tempat hiburan di pusat kota. Tempat ini tidak tampak seperti itu.... Ah aku juga salah mengapa tidak bertanya sebelum berangkat. Tapi bukankah ia berjanji menelepon sebelum tanggal keberangkatan disepakati?" Puspa terus membatin. Ia makin tampak gelisah. Sementara empat penari lainnya mulai terkantuk-kantuk di kursi. Gung Dewi bahkan sudah menyandarkan kepalanya ke bahu Ratnasari. Ia tertidur.Semua pertanyaan itu makin membuat Puspa curiga kepada Yamasita-san. Lelaki Jepang itu barangkali telah menipunya. Jangan-jangan tawaran kontrak menari itu hanya kedoknya. "Ia ingin menjerumuskan, bahkan menjual kami. Ini gila!""Ah, Puspa-san, Kimura-san minta kita semua istirahat dulu. Di sini sudah disiapkan kamar sementara. Ada lima kamar, silakan saya antar..." tiba-tiba kata Miki-san sesaat setelah muncul dari pintu belakang. "Nati malam Kimura-san akan menjamu makan malam di tempat hiburan miliknya. Ini semua untuk menghormati para penari dari Bali," tambah Miki-san. Puspa belum sempat menjawab. Kopornya sudah diangkat oleh beberapa lelaki yang menyertai Miki-san menuju kamar masing-masing. Setelah mandi, Puspa memanggil seluruh penari. Ia ingin minta pendapat apa yang seharusnya dilakukan, kalau-kalau tawaran kontrak itu tidak benar. Kalau-kalau Yamasita-san yang begitu dikenalnya telah menipu mereka. Gung Dewi mengusulkan sebaiknya menelepon ke Indonesia untuk memberitahu keberadaan mereka. Ratnasari usul sebaiknya menelepon Kedutaan Besar di Tokyo saja. Sementara yang lain berpendapat sebaiknya menunggu apa yang terjadi nanti. Apa benar Kimura-san akan mengundang makan malam.Sampai siang hari, para penari tak berbuat apa-apa. Mereka tampak bengong dan saling pandang di kamar Puspa. Bahkan untuk sekadar makan siang pun tidak terpikirkan lagi. Satu hal yang mereka bisa pastikan bahwa kelimanya telah tertipu: mereka tidak benar-benar sedang dikontrak untuk menari. Sambutan hangat seperti yang dibayangkan Puspa sama sekali tidak terjadi. Kalau benar para penari dikontrak, sudah pasti Yamasita-san akan berada bersama mereka. Setidaknya ada perjanjian kontrak yang harus dibicarakan. Puspa merasa Yamasita-san telah berkomplot dengan orang yang disebut-sebut bernama Kimura-san untuk merencanakan sesuatu yang belum ia ketahui. ***
No comments:
Post a Comment
Silahkan kasih komentar anda di kolom komentar di bawah.
Dengan baik,sopan,ramah dan penuh tanggung jawab, agar bisa memberikan kenyamanan bagi pengunjung lain.terimakasih sudah mengunjungi blog ini :), Tapi maaf di larang berkomentar spam di antaranya:
1. Di larang berkomentar OOT (Out Of Topik) di luar topik/ postingan di atas
2. Di larang komentar iklan-jualan obat-obatan
3. Di larang meninggalkan Link aktif (Alamat Web/Blog)
Jika ingin OOT atau Ninggalin Link Aktif silahkan masuk di menu CONTACT di atas, bagi yang melanggar akan di hapus oleh admin :) . Berkomentarlah yang sesuai dengan postingan di atas Terimakasih