Untuk Keluarga di Gondangdia

 

Cerpen: Soeprijadi Tomodihardjo 

 Sumber: Kompas, Edisi 02/23/2003 

                       BARU kemarin saya melihat lelaki itu di kedai Nam Khe, duduk di kursi yang sama menghadap meja yang sama pula. Pas buat dua orang. Wajahnya nampak selalu gelisah, berkali-kali melempar pandang ke Zeedijk--sebuah jalan kecil di depan kedai yang selalu ramai dilewati orang-orang yang lalu-lalang datang dari atau ke arah Damrak. 
                      Saya dan Hargo teman sekamar saya di hotel, baru saja jalan-jalan keluar-masuk toko souvenir yang banyak terdapat di pusat pertokoan Kota Amsterdam. Sampai kaki terasa capek belum juga sahabat saya itu tertarik buat membeli souvenir yang agak pantas untuk Nunik, adik kandungnya, yang sudah seminggu di Belanda dan besok pagi akan terbang pulang ke Jakarta. Nunik dan suaminya hari itu ingin jalan-jalan sendirian, tanpa saya maupun kangmasnya. Kami mengerti maksud Nunik. Suaminya ingin beli arloji yang kemarin dilihatnya di etalase sebuah toko mewah, dan dia merasa sungkan jika kami ikut mengantarnya, karena harga arloji itu memang tak terbayangkan.SEMBILAN ribu US-Dolar, Pri! Bayangkan, sepuluh bulan gaji saya!" kata sahabat saya."Jangan ukur gaji sampean atau gaji saya. Tak ada amput-amputnya!" sahut saya."Titipan Ibu Gubernur," kata Nunik.Titipan jendral kek, presiden kek, itu urusan ipar sampean, batin saya. Hargo tidak terlalu percaya pada adiknya. Dia lebih percaya, arloji itu akan dibeli buat upeti, bukan titipan biasa seperti kata Nunik. Sebab, menurut sahabat saya, hierarki dan kepangkatan dalam tatanan feodal yang kian disemarakkan di Tanah Air, nampaknya telah menjadi lestari dilengkapi adat asok upeti. Tetapi itu bukan urusan saya saat sekarang. Urusan saya yang mendesak cuma segera mengisi perut. Sudah waktunya injeksi insulin, lantas makan siang di Nam Khe, kedai murah di ujung Zeedijk. Beberapa kali kami pernah makan di sana. 
                 Kali ini kami menghindari lorong-lorong kumuh yang membuat bulu kuduk kontan berdiri bila berpapasan dengan kaum gelandangan pengisap ganja di kanan-kiri etalase yang dipenuhi benda-benda erotika. Selain itu kami tak sampai hati melihat wanita-wanita yang terang-terangan dijajakan di balik kaca dalam pakaian mini sekali, seolah mereka tak lebih berharga dari barang dagangan. Kami memilih jalan yang lebih sopan dari arah stasiun sentral, melangkah cepat-cepat karena tidak boleh terlambat. Sahabat saya tak punya pilihan lain kecuali ikut memenuhi disiplin jam makan saya. Di Nam Khe, saya segera membeset meja yang baru saja kosong. Belum lagi kami selesai membaca daftar menu, tiba-tiba saya melihat wajah itu lagi, duduk sendirian menghadap meja yang itu juga: pas buat dua orang. Dengan aling-aling selembar koran yang agaknya hanya pura-pura dia baca, dia berkali- kali mencuri pandang ke arah sahabat saya dan kadang juga ke arah saya. Agaknya pun berpikir, kemarin telah melihat kami berdua di Nam Khe.Wajah lelaki itu nampak gelisah seperti sedang menanti seseorang yang sewaktu-waktu melintas di depan kedai. Saya yakin dia memang sedang menunggu seseorang, sebab beberapa kali saya lihat dia menolak orang yang bermaksud duduk semeja dengannya. Dugaan saya benar. Beberapa menit kemudian orang yang ditunggunya nampak memasuki pintu kedai, langsung duduk di depannya. Seorang perempuan berbaju ungu dengan gambar kembang teratai potongan gaya Shanghai, berkerah tutup, kancing-kancing dadanya berbentuk pilin-pilin kain yang melintang seperti anak-tangga. Dengan rok ketat biru tua yang nampak agak mengkilat dan terbelah di dua sisi lututnya, perempuan itu mengingatkan saya pada Han Shu Yin-pengarang Birdless Summer yang bukunya hampir selesai saya baca di hotel. Saya sangat berminat membacanya karena terkenang filmnya: Love Is A Many Splendoured Thing yang dibintangi Jenniver Jones dan William Holden tahun-tahun 60-an.Di tengah-tengah denting suara wajan juru masak di dapur serta lagu-lagu musik Tionghoa yang nadanya tinggi sekali, kami tak bisa menangkap kalimat-kalimat mereka. Saya ingin mendengarnya, apakah mereka ngomong Belanda atau Indonesia. Sahabat saya melirik ke wajah itu sambil berlatih menjepit shomai yang sedang dipesannya."Sekarang dia menengok ke sini, Pri. Beberapa kali sudah.""Yang mana? Laki-laki itu atau temannya?""Dua-duanya. Mereka berkali-kali menatap ke sini lantas bercakap-cakap, mungkin sedang ngrasani kita."Saya tidak peduli. Saya perlu makan sekarang sebelum gula saya melorot dihanyut insulin yang baru saja saya suntikkan ke perut di ruang toilet. Nasi goreng dan khulaoro ikan yang saya pesan sudah tersaji di meja. Tinggal menyantapnya. Namun sialan, tiba-tiba si Baju Shanghai sudah berdiri di dekat sahabat saya."Maafkan, Bapak dari Kedutaan, ya?" kalimatnya sangat sopan.Nah, ini baru kehormatan namanya, pikir saya. Kehormatan besar buat Hargo. Mungkin sahabat saya itu dikira Pak Duta dan saya Atase Militernya. Tapi mana ada orang Kedutaan nongkrong di kedai Nam Khe, kalau bukan jongosnya! Hargo terkejut, perempuan yang semula disangkanya Tionghoa tulen, tiba-tiba menyapa dalam bahasa Indonesia. Ia belum menjawabnya ketika si Baju Shanghai berkata lagi."Saya melihat Bapak di Kedutaan di Den Haag kemarin. Saya mengurus visa di sana.""Oh, ya? Tapi saya bukan orang Kedutaan. Saya cuma mengantar saudara saya ke sana, bertemu dengan Pak Duta, tapi tak melihat Anda.""Pakaian saya tidak begini, Pak. Mana Bapak bisa mengenal saya lagi? Waktu itu saya bersama adik saya. Itu dia," kata si Baju Shanghai sambil menunjuk lelaki yang semeja dengannya.Lelaki yang dia tunjuk dengan sendirinya mengangguk, lalu berdiri dan buru-buru melangkah menuju ke meja kami. Jarang saya temui orang-orang setanah air di Belanda, punya hasrat saling menyapa kalau tidak saling kenal. Saya pun selalu bersikap begitu, kecuali sangat perlu. Dan itu sering keliru, yang saya sapa ternyata orang Filipina atau Kamboja, mereka sering belanja di toko Makro beli bumbu dan penganan Asia seperti kebanyakan warga komunitas kami. Dan sekarang mereka ini, lelaki dan perempuan berbaju Shanghai ini, tidak keliru. Kami adalah orang-orang setanah airnya. Layak ditegur-sapa."Bapak besok pagi naik Garuda ya?" pertanyaan lelaki itu tertuju kepada Hargo."O, tidak," jawab sahabat saya. "Yang akan pulang naik Garuda itu adik saya dan suaminya. Tapi dari mana Anda tahu?""Saya tanya sekretaris Kedutaan. Bapak menginap di mana?""Kami mengantar mereka, nginap di Hotel Dorin.""Wuah, mahal, Pak. Semua hotel di Damrak mahal. Lain kali silakan singgah di rumah saya, tidak jauh dari sini. Jangan di hotel."Lelaki itu dengan sangat antusias memberi kami kartu nama. Saya kurang selera buat ganti memberi dia kartu nama. Bukan karena sombong dan tidak bersahabat, tapi karena kebiasaan untuk sangat berhati-hati terhadap siapa saja yang bukan teman. Saya lalu menuliskan nama dan alamat palsu rumah saya di notes dia. Hargo lain lagi. Dia tak pernah punya kartu nama, lantas menulis address dan nomor kamar kami di Hotel Dorin. Habis itu asyik sendiri ngobrol ini-itu dengan si Baju Shanghai. Sahabat saya memang jejaka, sukar menemukan pasangan. Saya bisa mengerti bila tiba-tiba jadi ramah di depan wanita secantik Han Shu-Yin yang sedang berdiri di sisi kursinya."Ayolah Zus," kata dia tiba-tiba. "Mari duduk bersama kami di sini."Mau bangkrut lu, batin saya. 
                 Kalau mereka benar-benar mau duduk bersama kami lantas makan bersama, siapa mesti bayar? Saya tahu Hargo hidupnya cukupan saja seperti saya, tak banyak punya duit, kerjanya juru kontrol kualitas kertas di pabrik kertas Zanders. Tapi mungkin kali ini dia sudah disangoni Nunik-adik kandungnya yang lebih mujur dan hidup makmur sebagai istri seorang wali kota di Tanah Air. Saya dan dia sekadar dompleng di Hotel Dorin atas tanggungan suami Nunik.Si Baju Shanghai dengan adiknya ternyata dengan gembira memenuhi harapan Hargo, pindah semeja bersama kami. Sahabat saya terpaksa menunda makan, menunggu pesanan mereka. Saya sendiri tak bisa menunggu. Kaki dan tangan saya sudah mulai semutan, merasa gula di darah saya kelewat rendah. Saya jadi kurang sopan, terus makan saja apa yang sudah saya pesan tanpa peduli percakapan mereka. Jika saya nekat menunda makan, saya akan pingsan. Itu Hargo tahu. Ketika saya selesai, mereka justru baru mulai. Nampaknya Hargo berlagak kaya, menawarkan ini-itu yang selamanya tak pernah ditujukan kepada saya. Saya diamkan saja jejaka itu yang kini jadi overacting."Selamat makan. Maafkan, saya keluar sebentar," kata saya. "Beli prangko...."Sebenarnya saya tidak memerlukan prangko. Terus terang harus saya akui, saya menghindari rekening Nam Khe. Jadi saya jalan-jalan sepanjang Zeedijk. Sekadar menghabiskan waktu, saya pun singgah di Wan Nam Hong, beli terasi dan bumbu pecal titipan istri. Baru balik ke Nam Khe ketika mereka selesai makan. Hargo bilang, saya harus berterima kasih kepada si Baju Shanghai, karena dia yang bayar rekeningnya. Saya tentu saja mengucap terima kasih, tapi dengan kecurigaan: apa kiranya yang tersembunyi di balik keramahan mereka itu.MALAM itu di Hotel Dorin si nona jaga ngebel telpon kamar kami. Hargo ketamuan. Si Baju Shanghai dengan adiknya! Sahabat saya cepat-cepat berdiri di depan cermin, menyisir rambut lalu keluar menuju lift. Lama sekali saya menunggu jejaka itu dengan penuh pengertian. Ketika balik ke kamar dia bawa sebuah titipan berbungkus karton."Untuk keluarganya di Gondangdia," katanya."Sembrono sampean Har!" saya menegurnya."Kenapa?""Sampean janji di Nam Khe tadi?""Alaaah, Priiii. Tak sampai setengah kilo. Nunik bisa bawa.""Sampean tahu isinya?"Hargo diam. Nampak bengong. Tentu tak tahu apa isinya. Semudah itu seorang jejaka memercayai wanita yang belum lagi sehari dikenalnya. Kebodohan yang kini sulit saya pahami."Kalau isinya ekstasi bagaimana!" gertak saya. "Hukuman berat jika ketahuan. Di Malaysia malah hukuman mati.""Jangan menakut-nakuti! Saya percaya dia. Dia beri kita kartu nama dan addressnya.""Sampean ini, Haaar! Itu bisa palsu!"Sungguh mati saya tidak menakut-nakuti. Saya ingat, di Kualalumpur tahun itu seorang turis Inggris divonis mati hanya karena kejebak bawa 250 gram ekstasi. Jika sial, karena sesuatu hal mungkin saja Garuda terpaksa mendarat di sana. Jangan nyesal jika Nunik dan suaminya lantas kena perkara. Sahabat saya nampak makin kebingungan. Saya pun tiba-tiba khawatir, jangan-jangan ada reserse Belanda yang tadi menguntit si Baju Shanghai lantas mendobrak pintu kamar kami."Buka saja bungkusnya," usul saya. "Terlalu riskan buat adik sampean. Kalau ternyata bukan barang larangan, kan bisa dibungkus lagi."Karena keraguan Hargo yang sangat menjengkelkan itu maka saya ambil pisau saku dan menoreh kertas bungkusnya. Karton itu saya buka."Isinya apa?" dia tak sabar."Alhamdulillah, Haaar. Ini bungkusan cocoknya buat saya!""Ah! Jangan mbanyol!""Bener lho. Insulin! Ada suratnya buat bapaknya."Huahaha! Huaha! Meledak-ledak ketawa sahabat saya. Saya tidak bisa ketawa. Malah ngenas, obat sepenting itu mesti didatangkan dari Belanda. Seolah semua pengidap diabetes seperti ayah si Baju Shanghai itu mesti tersungkur ke liang kubur bila impor obat-obatan terhalang kurs US-Dollar yang ketika itu melonjak hingga 15.000 rupiah.
               Titipan itu diserahkan pada Nunik waktu makan. Dia dan Pak wali kota suaminya tertawa saja mendengar cerita kangmasnya."Tak perlu khawatir," kata suami Nunik. "Saya tak pernah digeledah di bandara Jakarta.""Service Paspor, Mas!" kata istrinya.Makan bersama di Hotel Dorin malam itu sangat mewah. Saya sungkan pada suami Nunik, tapi tak bisa menahan selera. Husaren Sla, bumbu mirip semur, baunya saja pun sangat nyaman. Saya melahapnya. Selama hidup saya tak pernah menyantap makanan itu. Namanya pun baru dengar sekarang.Menjelang tidur saya ukur gula darah saya: 270 skala Akutren! Lebih dari dua kali ukuran normal. Memang terasa melonjak tinggi sekali. Paran, medio Desember 2002   
Untuk Keluarga di Gondangdia 4.5 5 Om Dadi Cerpen: Soeprijadi Tomodihardjo   Sumber: Kompas, Edisi 02/23/2003                         BARU kemarin saya melihat lelaki itu di kedai ...


No comments:

Post a Comment

Silahkan kasih komentar anda di kolom komentar di bawah.
Dengan baik,sopan,ramah dan penuh tanggung jawab, agar bisa memberikan kenyamanan bagi pengunjung lain.terimakasih sudah mengunjungi blog ini :), Tapi maaf di larang berkomentar spam di antaranya:
1. Di larang berkomentar OOT (Out Of Topik) di luar topik/ postingan di atas
2. Di larang komentar iklan-jualan obat-obatan
3. Di larang meninggalkan Link aktif (Alamat Web/Blog)
Jika ingin OOT atau Ninggalin Link Aktif silahkan masuk di menu CONTACT di atas, bagi yang melanggar akan di hapus oleh admin :) . Berkomentarlah yang sesuai dengan postingan di atas Terimakasih