Rumah Kawin

 

 Cerpen: Zen Hae 

 Sumber: Kompas, Edisi 04/06/2003 

  

             LAGU Cente Manis baru saja berakhir dari mulut Gwat Nio. Para wayang cokek sudah mengosongkan kalangan. Para panjak mulai membereskan alat musiknya masing-masing. Tetapi Mamat Jago masih saja berdiri sambil memeluk Sarti di tengah kalangan. Tangannya terus meremasi pantat Sarti dan menyorongkan mulut monyongnya ke mulut wayang bermata burung hantu itu. Sarti melengos dan berusaha mendorong tubuh Mamat Jago sekuat tenaga, tetapi dengan cepat Mamat Jago meraih tangan Sarti dan melipatkannya ke pinggangnya. Kali ini Mamat Jago menggoyang-goyangkan pinggangnya sambil terus menekan pantat Sarti. "Aih, jangan tinggalkan abang, manis. Jangan pampat kawah yang mau meledak ini. Ooohh ….Heh, panjak, gesekin gua lagu Ayam Jago. Gua mau ngibing lagi."

  

            TUKANG teh yan celingukan, juga pemain musik lainnya. Ini sudah jam dua pagi. Sudah waktunya rombongan Gambang Kromong Mustika Tanjung pimpinan Tan Eng Djin dari Teluk Naga berhenti main. Izin keramaian yang mereka dapatkan dari keamanan setempat hanya sampai pukul satu. Sudah lewat satu jam.

  

 "Heh, budek lu. Gua masih banyak duit. Gua mau nyawer lagi," teriak Mamat Jago sambil menuding-nuding para panjak yang masih saling bersambut pandang.

  

            Sarti kembali mengibaskan tangannya. Menarik tubuhnya dari pelukan Mamat Jago yang kian sempoyongan. Terlepas. Sebagai gantinya satu tamparan Mamat Jago mendarat di pipinya. "Sundal lu!" maki Mamat Jago sambil melempar cukin merah hati ke wajah Sarti. Sambil meringis dan meme-

  

 PEGANGI pipinya Sarti berlari ke arah wayang lain yang sejak tadi hanya bisa memandanginya dengan cemas.

  

             Ini sudah kelewatan, pikir Eng Djin. Anak buahnya memang boleh dipeluk, dicium, atau dibawa ke mana saja, tetapi pantang disakiti. Ia pun keluar dari sela-sela gong dan menghampiri pengibing mabuk itu. Merendengnya. "Maaf, kami harus berhenti, Bang. Kalau tidak cokek ini bisa digerebek polisi."

  

 "Jangan takut, Koh. Mereka semua teman saya. Ayo, main lagi. Saya akan mati kalau gambang berhenti. Ayo, panjak…"

  

          Bang Minan mulai menggesek teh yan-nya, tetapi segera Eng Djin menggoyang-goyangkan tangan kirinya. Sepi. "Mendingan abang pulang saja. Jangan bikin perkara…"

  

 "Sial dangkalan lu," maki Mamat Jago. Dengan sisa tenaganya disodoknya perut Eng Djin, tetapi ia menepiskan tangan itu. Mamat Jago balas menyerang dengan pukulan siku yang diruncingkan-gentus tubruk. Eng Djin jatuh terduduk. "Engkoh jangan melecehkan saya. Saya juwara kampung. Jago berantem. Semua orang bisa saya bikin takluk."

  

            Eng Djin bangkit dan mundur selangkah. Dipandanginya kepalan tangan Mamat Jago yang padat berisi. Empat belas jurus ilmu pukul memang masih dikuasainya, tetapi ia sadar, tidak mungkin menandingi kemahiran pukulan jawara kampung Rawa Lingi ini. Namun, ia akan melawan sebisanya kalau Mamat Jago melancarkan pukulan lagi. Itulah cara ia mempertahankan harga dirinya di depan anak buahnya. Ternyata, tidak. Mamat Jago hanya memasang jurus. Kuda-kudanya kelihatan goyah. Tubuhnya sedikit goyang.

  

           Tiba-tiba, dua orang berjaket kulit hitam, si gondrong dan si cepak, masuk ke kalangan. Eit, Mamat Jago mengalihkan kuda-kudanya ke arah dua orang asing itu. Mencoba lebih awas, ia kibas-kibaskan kepalanya. Si gondrong lantas mencabut revolver dari balik jaketnya dan mengacungkannya ke udara. Orang-orang terkesiap. "Bapak-ibu saya minta berhenti. Bubar!" perintahnya. Dengan sigap si cepak mencekal tangan Mamat Jago, memitingnya, memborgolnya, dan menyeretnya seperti sekarung tahi ayam.

  

         Entah sudah berapa Lebaran lewat setelah penangkapan itu. Sudah lama sekali, gumam Mamat Jago. Saat itu dengan mudah ia masuk-keluar sel. Ditangkap malam keluar pagi, ditangkap pagi keluar sore, ditangkap sore keluar malam. Anak-anak buahnya akan mengantarkan uang tebusan, tak lama setelah ia digelandang polisi. "Polisi teman abang," katanya berkali-kali kepada anak buahnya. Setelah itu ia akan dengan leluasa datang lagi ke rumah kawin, ngibing dan minum, membuat keributan bila perlu.

  

            Tetapi, itu dulu. Ketika kekayaan dan kehormatan didekapnya dengan dua tangan. Ketika bisnis penjualan kebun dan sawah di kampungnya sedang ramai-ramainya. Setiap saat orang datang dan pergi dari rumahnya. Membawa dan mengambil uang. Pekerjaannya sebagai calo tanah sangat sibuk kala itu. Pernah suatu ketika anak buahnya harus memanggul berkarung-karung uang ke rumahnya untuk membebaskan berhektar-hektar sawah yang kini menjadi bandar udara itu. Orang-orang kampungnya pernah berkata, ia tidur bukan di atas kasur kapuk, tetapi di atas kasur uang.

  

           Sekarang ini semuanya sudah lain. Kekayaan dan kehormatannya rontok sudah, seperti pohon kelapa disambar petir. Meranggas dan mati. Tanahnya yang dulu hektaran kini hanya tinggal sepekarangan saja, menciut bagai kelaras terbakar. Di atasnya berdiri rumah yang dulu pernah menjadi rumah termegah dan termahal di kampungnya-kini sudah menjadi sarang kumbang, ngengat, dan laba-laba. Kosong, kusam, sepi. Mobil, motor, dan kerbaunya sirna tak berbekas. Anak buahnya yang berjumlah puluhan sudah pergi meninggalkannya, entah ke mana. Masroh, istri yang tak pernah lagi disentuhnya sejak terkena TBC, wafat dua tahun lalu. Tiga anak perempuannya sudah dibawa suami mereka ke kota lain. Menjadi orang rantau. Satu anak lelakinya menjadi pengojek untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Hanya ia dan si bungsu yang tinggal di situ.

  

         Ah, betapa perihnya kehilangan ini, keluhnya. "Apa ada obatnya?"

  

         Pekerjaan sebagai calo tanah sudah tidak dilakoninya lagi. Tidak ada lagi orang yang mau menjual kebun dan sawahnya. Tanah warisan mereka sudah habis terjual, tinggal yang kini mereka tempati. Dan itu tak mungkin mereka jual, kecuali kalau mereka mau menjadi gelandangan di kampung sendiri. Lahan-lahan yang tadinya menjadi sumber penghidupan mereka kini sudah berubah fungsi. Ratusan hektar sawah itu sudah dibikin rata tanpa pematang dan diberi pagar besi setinggi dua meter di tepinya. Di tengahnya membujur dua jalur landasan beton, dari barat ke timur. Ia dan orang kampungnya hanya bisa memandangi pesawat terbang yang lepas landas dan mendarat, hanya mereka yang pernah naik haji mampu menaikinya. Di malam hari pesawat-pesawat itu berubah menjadi kunang-kunang raksasa yang tubuhnya tetap berkelap-kelip meski melayang di batas langit terjauh.

  

             Pabrik-pabrik juga sudah beroperasi, siang dan malam. Siapa pun orang terkaya di kampungnya tidak mungkin membangun dan memiliki pabrik-pabrik itu. Mereka hanya petani penggarap dan pedagang kecil, tidak mungkin menguasai bisnis dan teknologi perpabrik- an secanggih itu. Tapi, anak-anak mereka, lelaki dan perempuan, si bungsu juga, senantiasa berbondong-bondong, keluar masuk pabrik, dengan seragam yang sama. Mereka sudah menjadi manusia pabrik yang mau tidak mau dibayar murah oleh tauke-tauke dari Korea, Jepang, dan Taiwan.

  

             Rumah-rumah mewah juga sudah dibangun dan ditempati orang-orang yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya. Mereka memang tidak mampu membeli dan menempati rumah mahal itu, tetapi mereka masih bisa menjadi pengojek di perumahan itu dengan motor yang dibeli dari hasil menjual tanah warisan mereka. Mereka masih bisa menikmati jalan aspalnya yang lurus-menyiku, sungai kecil yang jernih dan dibeton tepinya, taman yang indah, sambil memandangi rumah-rumah besar dengan pintu dan jendela yang melengkung. Ya, gonggong anjing, tentu saja.

  

 Ah, betapa menyesakkan kekalahan ini, keluhnya. "Aku butuh obat."

  

           Ia menarik napas dalam-dalam. Aroma tanah basah dibawa angin selatan melintasi padang ilalang setinggi pinggang. Hujan akan segera turun. Musim penghujan sudah tiba dan akan makin tinggi curahnya menjelang Tahun Baru Imlek! Ya, musim kawin orang Cina akan tiba juga. Rumah-rumah kawin di Kampung Melayu, Kosambi, Salembaran, dan Sewan akan ramai lagi. Ia rindukan semua itu.

  

           Ia datangi lagi rumah kawin "Teratai Putih". Semuanya masih seperti dulu. Orang-orang menyingkir begitu ia melintas. Dipasangnya langkap tegap seorang jawara kampung. Hanya di sinilah aku bisa menikmati lagi seluruh kesenangan dan kehormatan hidupku, pikirnya. Bukankah sudah bertahun-tahun belakangan ini ia tidak menikmati dua hal itu lagi. Ya, di sinilah orang akan memuji kelihaiannya ngibing yang dipadu dengan keindahan jurus-jurus pukulnya, kekuatannya menenggak berbotol-botol bir campur anggur, keroyalannya nyawer. Dan tubuh wayang yang panas dan memabukkan! Liukan dan goyangan yang membangkitkan syahwat! Aih, lelaki mana yang bisa tahan.

  

         Cukin merah hati sudah dikalungkan tukang cukin ke lehernya, tanda ia harus turun ke kalangan, memilih wayang mana yang ia suka. Ditatapnya Sarti yang sejak tadi duduk di pojok. Kali ini ia memakai kaus biru bergambar matahari di dadanya dan celana capri krem. Dengan pakaian itu ia tampak lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Sedikit gemuk membuat lekukan-lekukan tubuhnya tampak nyata dibalut pakaian yang serba ketat itu. Darahnya berdesir. Ditariknya tangan wayang langganannya itu. Pengibing dan wayang lain sengaja hanya menonton, memberi penghormatan atas kembalinya si raja ngibing dari Rawa Lingi itu. Mamat Jago tersenyum bangga. "Ayo, panjak, gesekin gua lagu Ayam Jago. Gua mau ngibing lagi."

  

           Teh yan digesek, disusul gambang, kecrek, gong, suling, dan kempul. Susul-menyusul. Jalin-menjalin. Gwat Nio sudah melantunkan suaranya yang garing-melengking seperti suara burung titutit. Tapi Sarti tidak juga menggoyangkan tubuhnya. Tangannya dibiarkan terkulai. Mamat Jago meraihnya, melipatkannya ke pinggangnya, merapatkan pelukannya. Tubuh perempuan itu terasa dingin, seperti daun dadap pengusir demam anak-anak. Wajahnya membiru, bibirnya terkatup, matanya terpejam. Ayo, Sarti, jangan kaugoda aku seperti malam-malam dulu! Digoyang-goyangkannya tubuh Sarti, tetap dingin dan biru. Ditepuk-tepuknya pipinya, tak ada reaksi sedikit pun. Dipandanginya para panjak. Sepi. Tak ada yang bergerak. Semua dingin dan biru. Seperti keramik Cina.

  

          Rumah kawin ini sudah menjadi rumah mayat, pikirnya. Ia bopong Sarti keluar. Ia tinggalkan rumah kawin itu. Menerobos hujan senja yang turun bagaikan lapis-lapis kelambu. Sepanjang jalan tak ada orang. Pohon-pohon meliuk-mabuk, rumah-rumah bisu-merunduk. Ia susuri jalan aspal, memotong sungai, membelah padang ilalang. "Kau tidak boleh mati, sayang. Hiduplah bersama abang. Di rumahku kau akan hangat." Dikecupnya bibir Sarti. Air liurnya yang bercampur air hujan masuk ke mulut Sarti. Si mata burung hantu itu tersedak. Tubuhnya menggeliat. Tangannya meraih leher Mamat Jago. Ia tersenyum dan mempercepat langkahnya.

  

            Malam dan hujan pertama benar-benar telah mengepung kampungnya. Dari kejauhan rumahnya yang terletak di tepi sawah bera dengan pematang yang lurus memanjang tampak bagaikan lukisan yang luntur. Namun, satu dua lampunya membangkitkan keriangan masa mudanya. Bukankah dulu ketika masih berpacaran ia dan Masroh selalu berlarian di atas pematang sawah begitu hujan pertama turun. Setelah basah kuyup oleh air hujan barulah mereka mandi di sumur senggot yang airnya terasa lebih hangat daripada air hujan. Buatnya, laku itu semacam perayaan untuk datangnya musim penghujan.

  

               Sesampainya di rumah dibaringkannya Sarti di ranjang. Di situlah dulu istrinya mengembuskan napas terakhirnya dengan tubuh kurus kering. Mamat Jago melucuti seluruh pakaian basah dari tubuh Sarti dan menyelimutinya dengan kain batik yang dulu pernah dipakai untuk menyelimuti mayat istrinya. Dipandangi wajah Sarti yang tertidur pulas. Dalam keremangan wajah itu berganti-ganti dengan wajah istrinya.

  

 "Pacarku, biniku…."

  

                Dikecupnya bibir Sarti. Bibir itu terasa bergerak. Balas melumat. Tangannya perlahan mendekap. Napasnya mulai satu-dua. Hangat, panas, gemuruh. Mamat Jago mendekapnya lebih erat lagi. Kini kehangatan menjalari tubuh mereka berdua. Dalam sekejap mereka telah bergumul. Memagut-mematuk-mengecup-merenggut- mencakar-mengular…terbakar. Tiba-tiba, brak! Mamat Jago kaget dan melepaskan pelukannya. Eng Djin, si gondrong, dan si cepak sudah berdiri di pelangkahan pintu. Buru-buru Mamat Jago meraih dan mengenakan celana kolornya.

  

 "Sadarlah, Bang. Sarti sudah mati," kata Eng Djin.

  

            Mamat Jago menoleh. Sarti terbaring telanjang kaku dengan sisa-sisa keringat yang meleleh di sela-sela payudaranya. Tak percaya Mamat Jago menepuk-nepuk pipi Sarti. "Ayo, manis…bangun. Ada Koh Eng Djin dan teman abang datang," bisiknya ke telinga Sarti.

  

 "Relakan kepergiannya… Nyebut, Bang."

  

              Mamat Jago masih tak percaya. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Sarti. Kaku, dingin, biru seperti keramik Cina. Tangisan pilu meledak dari mulutnya. Eng Djin tertegun menyaksikan lelaki malang itu. Tanpa buang waktu si gondrong dan si cepak langsung membekuk Mamat Jago. Dengan mudah mereka menggelandang Mamat Jago dan memasukkannya ke mobil jip.

  

            Sepanjang jalan kedua polisi yang diakui sebagai temannya itu tak mencoba mengajaknya bicara. Semuanya membisu. Pikiran Mamat Jago kembali pada Sarti. Benarkan Sarti sudah mati? Mungkinkah aku menyenggamai mayat, ia membatin. Bukankah barusan Sarti membalas kecupan dan pelukannya dan mereka bergumul hebat seperti di malam-malam dulu?

  

 "Keluar lu!" Bentakan si gondrong membuatnya ternganga. Mamat Jago tak punya lagi kuasa untuk menolak.

  

             Si gondrong dan si cepak menggiringnya ke sebuah tempat gelap. Kakinya menjejak pasir. Ada debur ombak. Kersik daun. Serbuk garam yang menempeli bibirnya. Ia menduga-duga pantai apa ini. Mungkin Tanjung Kait, Rawa Saban, Kamal, atau pantai yang belum pernah ia kunjungi. Dorongan keras membuatnya tersandung akar bakau dan tersungkur. Butiran pasir asin memenuhi mulutnya.

  

            "Sejujurnya, Mat, kami tidak pernah benar-benar berteman denganmu. Tugas kami adalah membasmi orang-orang yang meresahkan masyarakat semacam kau. Dan kau sudah terlalu sering melakukannya. Malam ini kami akan membuat hidupmu tamat," suara si cepak mengalahkan deru ombak.

  

 Dor! Dor! Dor!

  

           Mamat Jago mengusap kepalanya. Tak ada darah. Hanya air hujan! "Mimpi apa lagi ini?" katanya, heran. Ia bangkit dan duduk di tepi balai bambu. Ditajamkan pendengarannya, rentetan tembakan itu masih terdengar. Ah, ia tersenyum, rupanya hanya suara petasan dari rumah kawin! Ia keluar. Hujan sudah mulai berhenti, tetapi air masih menggenang di pelataran rumahnya. Begitu juga kenangannya pada Sarti, Eng Djin, si cepak, dan si gondrong yang barusan hadir dalam mimpinya. Dan Sarti! Mengapa kau muncul dalam mimpiku dengan cara seaneh itu, ia membatin lagi. Lama ia menafsir-nafsir makna mimpinya itu.

  

 "Ya, aku harus kembali ke rumah kawin itu." Ia pun mengetuk-ngetukkan tumit kanannya ke lantai teraso, tiga kali. Hatinya mantap. "Aku harus dapatkan lagi Sartiku, kesenangan, dan kehormatanku.

  

 Kembangan Selatan, Desember 2002

  

 CATATAN:

  

 COKEK: Tari pergaulan masyarakat Betawi peranakan Cina.

  

 WAYANG (Cokek): penari Cokek

  

 PANJAK: pemain musik Gambang Kromong, pengiring Cokek.

  

 CUKIN: selendang untuk menarik para pengibing

  

 NGIBING: menari

  

 KALANGAN: tempat ngibing

  

 TEH yan Betawi: instrumen gesek tradisional berdawai dua.


Rumah Kawin 4.5 5 Om Dadi  Cerpen: Zen Hae   Sumber: Kompas, Edisi 04/06/2003                  LAGU Cente Manis baru saja berakhir dari mulut Gwat Nio. Para way...


No comments:

Post a Comment

Silahkan kasih komentar anda di kolom komentar di bawah.
Dengan baik,sopan,ramah dan penuh tanggung jawab, agar bisa memberikan kenyamanan bagi pengunjung lain.terimakasih sudah mengunjungi blog ini :), Tapi maaf di larang berkomentar spam di antaranya:
1. Di larang berkomentar OOT (Out Of Topik) di luar topik/ postingan di atas
2. Di larang komentar iklan-jualan obat-obatan
3. Di larang meninggalkan Link aktif (Alamat Web/Blog)
Jika ingin OOT atau Ninggalin Link Aktif silahkan masuk di menu CONTACT di atas, bagi yang melanggar akan di hapus oleh admin :) . Berkomentarlah yang sesuai dengan postingan di atas Terimakasih