Rumah Makam

 

Cerpen: Putu Fajar Arcana

 Sumber: Kompas, Edisi 03/17/2002

 KETIKA mendengar kabar ayahnya meninggal Susila tidak kaget. Ia masih sempat mengantar anak-anaknya ke sekolah. Bahkan, siang hari menjemputnya kembali. Susila memang sudah punya rencana untuk pulang kampung besok pagi, sembari menunggu istrinya mendapat cuti dari kantor. Namun, saat sepupunya, Mangku, menelepon lagi, ia benar-benar jadi kehabisan alasan.Sore itu juga Susila berangkat naik bus dari Terminal Pulo Gadung Jakarta ke Denpasar. Meski ia tahu suasana tahun baru akan membuat penyeberangan Ketapang-Gilimanuk padat, tapi ia merasa tak diberi pilihan lain. Kabar dari Mangku benar-benar membuat emosinya campur aduk. Ia hanya berpikir bagaimana secepatnya tiba di Banjar Sari, Gianyar. Kira-kira satu setengah jam perjalanan lagi ke arah timur Kota Denpasar.Sepanjang perjalanan terbayang perlakuan keji dan tidak adil yang harus diterima ayahnya, I Raneh. Bahkan sampai tubuhnya menjadi mayat, warga banjar tetap memperlakukannya secara tidak hormat. "Kasar dan kejam," pikirnya."Susila!" kata Kelihan Adat Banjar Sari Wayan Kroda, ketika Susila mendatangi rumahnya pagi hari. "Ini sudah hasil dari keputusan paruman banjar. Jadi, jangan salah paham." Wayan Kroda menuturkan keputusan banjar tersebut bukan tanpa alasan. Semasa hidupnya I Raneh dianggap selalu membangkang terhadap kesepakatan-kesepakatan yang diputuskan adat. Meski masih berusia belasan tahun, Wayan Kroda masih ingat ketika I Raneh menentang adat yang telah memutuskan untuk mencoblos Golkar. Waktu itu tahun 1971, ayah Kroda, I Kleteg yang menjabat sebagai kelihan adat di Banjar Sari. "Kamu tentu masih ingat juga, bagaimana ayahmu menghasut warga hingga Golkar hampir kalah di Banjar kita ini. Meski telah kena sanksi adat, sampai tua ayahmu tak pernah berubah juga....""Sepanjang hidup, saya tidak pernah menilai ayah saya berbuat salah, hingga membuatnya pantas menerima sanksi berat, bahkan sampai jenazahnya!" potong Susila. Wayan Kroda terdiam. Seekor babi tiba-tiba merobohkan pohon pepaya di halaman rumahnya. Batang pepaya itu menjulur sampai ke teras di mana Kroda dan Susila sedang bicara. "Luh, Luh...!" Wayan Kroda memanggil anak perempuannya dengan suara keras, "Ikat babinya. Jangan dibiarkan liar begitu. Nanti kamu kena denda!"HASIL paruman adat memutuskan melarang penguburan ataupun pembakaran jenazah I Raneh di kuburan milik banjar. Warga menilai dosa I Raneh selama hidupnya sudah terlalu banyak. Selain menghasut warga menentang Golkar, Raneh juga pernah melarang kelompok seni Cak Banjar Sari untuk pentas di hotel-hotel di Nusa Dua kalau tidak dihargai secara pantas. "Jika hotel-hotel itu masih mengangkut kita dengan truk, kita tidak akan mau pentas. Saya juga akan mundur dari kelompok kalau hotel tidak membayar kita dengan harga tinggi," tegas I Raneh sewaktu masih hidup. Sebagai kelihan adat wajah I Kleteg seperti ditampar di depan warganya sendiri. Ia merasa sudah susah payah mencari hubungan ke ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) Denpasar agar kelompok Cak Banjar Sari bisa main di hotel. "Bisa pentas di hotel berbintang saja sudah luar biasa. Ongkos tidak penting! Selama ini kita hanya pentas di desa-desa, lain rasanya kalau nanti main di depan turis asing. Itu kebanggaan," ungkap I Kleteg. Tetapi, I Raneh tetap berpendirian bahwa dosen-dosen ASTI itu telah meracuni otak I Kleteg. Padahal, hasil pentas itu sebagian besar dinikmati para brooker seni itu. Perdebatan-perdebatan macam itu akhirnya berakibat pada pengucilan keluarga I Raneh. Sampai kini, seluruh keturunannya, termasuk Susila, dianggap tak hirau lagi pada kewajibannya selaku warga banjar. Kebetulan keempat anak I Raneh pergi merantau ke luar Banjar Sari. Sejak zaman I Kleteg sampai Wayan Kroda menjadi kelihan adat, keluarga I Raneh dianggap perusak tatanan adat yang ada. Sejak tinggal di Jakarta, Susila mau tak mau harus melepaskan keanggotaannya sebagai warga adat Banjar Sari. Tuntutan profesi membuatnya harus pindah. Tetapi, aturan di Banjar Sari mengharuskan ia tetap sebagai warga adat, karena darahnya tumpah di desa pusat kerajinan itu. Karena tinggal jauh, Susila tak mungkin lagi mengikuti kegiatan-kegiatan adat. Ia tahu, Wayan Kroda sejak lama mendiskreditkan keluarganya. Dendam Kroda, dendam turunan. Ia hanya memakai tangan adat untuk membalas rasa dendam ayahnya kepada ayah Susila. "Bagaimana ini bisa terjadi? Adat dibikin begitu kaku, bahkan digunakan untuk menghantam orang-orang yang tidak disukai. Ini hanya dendam pribadi. Apa yang pantas dicemburui dari keluargaku?"Susila terus membatin di sisi jenazah ayahnya. Bagaimana mungkin seorang bekas pejuang melawan Belanda, sampai menjadi mayat pun tetap diperlakukan secara hina. Larangan melakukan upacara jenazah di kuburan adat Banjar Sari, berarti jalan buntu. Banjar adat lain tak mungkin menerima jenazah I Raneh, karena ia bukan anggotanya. Kalau toh diizinkan, itu pasti melalui berbagai prosedur yang rumit dan memakan waktu. Sementara saat yang baik untuk penguburan tinggal tiga hari lagi. Sempat terlintas dalam pikirannya membawa jenazah ayahnya ke Denpasar untuk dikremasi. Ia ingat di Pemakaman Mumbul ada krematorium milik umat Budha. Tetapi, ide itu dipatahkan oleh ketiga adiknya. Ayah mereka harus mendapatkan penguburan dengan upacara yang layak sebagai seseorang yang pernah berjasa. Sikap keras yang ditunjukkan I Raneh selama ini, hanya karena ia tak ingin melihat Banjar Sari dieksploitasi untuk kepentingan politik dan modal. Tetapi, sikap itu dianggap merugikan I Kleteg dan sebagian warga. SANKSI ini terlalu berat. Tak mungkin bisa ditanggungkan oleh sesosok jenazah. Susila tetap menganggap bahwa sanksi adat itu sungguh tidak adil terhadap ayahnya. Perundingan dengan ketiga adiknya tidak menemukan jalan keluar. Kakak beradik itu hanya bisa meratap di sisi jenazah ayah mereka. Sesungguhnya banyak warga bersimpati pada keluarga Susila. Mereka secara bisik-bisik mencoba mencari jalan keluar dari kebuntuan sanksi adat itu. Namun, tetap saja warga tak berani datang untuk sekadar mengucapkan rasa simpati atau turut berduka cita ke rumah Susila. Mereka juga takut terkena sanksi: turut dikucilkan!Menurut perhitungan dewasa, hari ini hari terakhir untuk melangsungkan upacara penguburan atau pembakaran jenazah. Kendati sudah lama tinggal di kota seperti Jakarta, Susila sangat menghormati perhitungan dewasa itu. Pengetahuan itu satu-satunya warisan ayahnya yang masih ia jalankan. Meski harus mengorbankan harga dirinya, untuk kesekian kalinya Susila mendatangi rumah Wayan Kroda. "Bli, sekarang hari terakhir dalam perhitungan dewasa untuk melaksanakan penguburan. Saya atas nama ayah dan seluruh keluarga tetap meminta agar sanksi adat dicabut, agar kami bisa menguburkan jenazah ayah...." Wayan Kroda tak segera menyahut. Ia melihat babi peliharaan istrinya tetap liar. Bahkan, kali ini hampir merusak seluruh tanaman di halaman rumahnya. Lagi-lagi ia berteriak memanggil anak perempuannya agar segera mengikat babi itu."Sudah berapa kali pula saya katakan, ini keputusan paruman adat. Saya tidak bisa mengubahnya sekehendak hati. Kalau kamu mau sanksi itu diubah, mintakan kepada seluruh warga. Jangan datang lagi kepada saya. Perkara di mana jenazah itu dikuburkan, bukan lagi urusan adat. Itu mutlak urusan keluargamu," tiba-tiba kata Wayan Kroda dengan tekanan suara keras. Susila merasa percuma berunding dengan orang yang memendam rasa dendam turunan. Bahkan, dendam itu barangkali akan tetap melekat sampai cucu-cucu mereka kelak. Ia me-rasa rasa benci senantiasa mendatangkan pikiran sesat. Wayan Kroda sedang disesatkan rasa bencinya. Sebagai kelihan adat, seseorang yang dituakan dalam adat, tak pantas ia berlaku begitu kepada warganya. Aturan adat disepakati untuk menciptakan harmoni tatanan warga. Bahkan, harmoni warga dengan makhluk lain di sekitarnya. Bukan, dijadikan alat untuk menekan dan menghukum orang-orang yang berseberangan secara pribadi.Pagi itu juga Susila berangkat ke Denpasar dengan maksud menemui Gubernur. Seorang petugas protokol memberitahu bahwa Gubernur sedang sibuk menerima tamu dari Jakarta. "Tamu itu sangat penting. Jadi, Bapak harus mengajukan surat permohonan dulu. Itu pun belum tentu bisa langsung menghadap. Paling tidak harus menunggu seminggu," ujar petugas lelaki itu. "Barangkali saya bisa dipertemukan dengan pimpinan lain. Wakil atau siapa sajalah. Ini soal penting dan sangat mendesak.""Semua pimpinan juga sedang mendampingi Bapak. Jadi, bikin saja surat dulu.""Ini soal jenazah! Jadi, saya harap bisa bertemu Gubernur.""Lebih baik berurusan dengan polisi, kalau menyangkut penemuan jenazah," kata petugas itu.Sempat terlintas dalam benak Susila untuk mendatangi Pimpinan DPRD. Tapi, niat itu ditepisnya. Ia tahu pasti, seperti yang biasa terjadi wakil rakyat pun akan menampung keluhannya lantas dirundingkan dulu dengan eksekutif. Padahal, ia berharap menemukan jalan keluar hari itu juga, agar jenazah ayahnya tidak terkatung-katung.TEPAT seminggu jenazah I Raneh terbaring. Selama itu tak seorang warga banjar pun yang datang menjenguk. Hanya beberapa kerabat jauh yang turut menyertai Susila menjaga sosok tubuh ayahnya. Tetapi, setiap dimintai pertimbangan rata-rata mereka tak punya jalan keluar. Mereka umumnya mengatakan penyelesaian upacara jenazah sangat tergantung pada banjar adat. "Jadi, kalau banjar adat mengenakan sanksi, bisa berbuat apa kita ini?" kata seorang kerabat Susila. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu makin membuat kusut pikiran Susila. Ia berbaring di dekat ayahnya. Ia tarik napasnya dalam-dalam lalu diembus seperti melenguh. Ada sesak dalam dadanya. Susila sama sekali tak menduga begitu mudahnya warga adat dihasut untuk berbuat keji. Sebagai orang yang lama merantau, Susila berpikir bahwa adatlah yang selama ini menjadi benteng terakhir di banjar dari berbagai gempuran kehidupan modern. Sebelumnya ia begitu yakin bahwa serbuan dunia modern menjadi satu-satunya penghancur tatanan adat di Banjar Sari. Derasnya arus modal yang membawa peradaban baru, akan mengubah kondisi sosial dan ekonomi. Saat itulah secara bersamaan terjadi perubahan dalam cara berpikir dan pola prilaku masyarakat. "Dan, I Kleteg serta Wayan Kroda merupakan pion-pion pembawa kehancuran di Banjar Sari? Mereka hanya mementingkan keuntungannya sendiri dengan berdalih menjaga keutuhan adat....ah." Susila mengembuskan asap rokoknya jauh-jauh. Ia ingin mengeluarkan seluruh sesak yang memenuhi rongga dadanya. Asap itu berpadu dengan kepulan asap puluhan dupa dari altar di sebelah kiri jenazah. Bergulung-gulung mencucuk langit-langit rumah. Di luar gerimis menghantarkan suasana makin cepat jadi gelap. Dalam peti sosok tubuh I Raneh membeku. Tetesan air di bagian ujung peti menandakan es di dalamnya terus mencair. Tubuh lelaki berusia 78 tahun itu mengeras seperti menjadi satu zat dengan tulang. Seluruh cairan tubuhnya pelan-pelan larut ke dalam tetesan bongkahan es.Saat hendak mengisi kembali bongkahan es ke dalam peti itulah, seorang kerabat tiba-tiba berteriak mengatakan bahwa jenazah I Raneh hilang. Beberapa kerabat lain menuduh bahwa warga adat makin berbuat kejam. Wayan Kroda dituding menjadi otak pencurian jenazah. "Ia keberatan, makin lama jenazah berada di rumah, bau tak sedap makin merayap ke rumah-rumah warga," kata seorang kerabat liannya. "Tapi, bukankah bau tak sedap itu bersumber dari dalam rumahnya sendiri?" kata yang lainnya lagi. Meski jumlahnya tak begitu banyak para kerabat itu sepakat untuk mendatangi rumah Wayan Kroda. Mereka ingin menuntut keadilan. Perbuatan Wayan Kroda dianggap sudah keterlaluan: terhadap jenazah pun ia tak urung berbuat keji.Ketika melewati pintu depan, para kerabat itu dikagetkan dengan ratapan Susila di sebuah rumah kecil di halaman. Di dalam rumah itu terdapat gundukan yang baru saja digali. "Inilah rumah makam yang saya bikin untuk ayah. Sewaktu kalian lelap, aku diam-diam membuatnya. Ayo semua berdoa. Jangan pikirkan lagi soal sanksi adat itu. Penyelesaian cara inilah yang rupanya tengah diinginkan oleh Wayan Kroda...! Ayo duduk dan berdoa, mengapa masih bengong, tidakkah kalian ingin mendoakan agar ayahku tenang? Ayo......" Susila memanggil ketiga adiknya sembari membagi-bagikan dupa. Pagi hari kegemparan melanda seluruh Banjar Sari. Kabar tentang Susila membuat rumah makam di halaman rumahnya tersebar cepat. Pagi itu juga Wayan Kroda menggelar paruman warga adat. Mereka merembugkan sanksi baru yang harus ditimpakan kepada keluarga Susila. Selain itu warga juga merencanakan menggelar upacara pembersihan desa. Tindakan Susila dianggap telah membuat desa kotor. * Keterangan: Banjar : Komunitas masyarakat adat.Kelihan Adat : Tetua AdatParuman : RapatDewasa : HariBli : Kakak Lelaki. Rumah Makam
Rumah Makam 4.5 5 Om Dadi Cerpen: Putu Fajar Arcana  Sumber: Kompas, Edisi 03/17/2002  KETIKA mendengar kabar ayahnya meninggal Susila tidak kaget. Ia masih sempat ...


No comments:

Post a Comment

Silahkan kasih komentar anda di kolom komentar di bawah.
Dengan baik,sopan,ramah dan penuh tanggung jawab, agar bisa memberikan kenyamanan bagi pengunjung lain.terimakasih sudah mengunjungi blog ini :), Tapi maaf di larang berkomentar spam di antaranya:
1. Di larang berkomentar OOT (Out Of Topik) di luar topik/ postingan di atas
2. Di larang komentar iklan-jualan obat-obatan
3. Di larang meninggalkan Link aktif (Alamat Web/Blog)
Jika ingin OOT atau Ninggalin Link Aktif silahkan masuk di menu CONTACT di atas, bagi yang melanggar akan di hapus oleh admin :) . Berkomentarlah yang sesuai dengan postingan di atas Terimakasih